Haruno dan Bugyamu Part 9

SMP Kachinoka memang menakjubkan. Ada air mancur di taman sekolah dengan tambahan sebuah patung di tengah kolam. Hal itu tampak jelas sebagai suatu karya seni. Dan.. bangunan sekolahnya, wah! Benar-benar bangunan sekolah bertingkat dengan ukiran seni yang mengagumkan. Sepertinya orang yang membangun sekolah ini benar-benar penikmat seni. Namun sayangnya sekolah yang aku masuki ini bukan bangunan sekolah untuk putra, melainkan untuk putri. Ya, tidak butuh waktu lama kecanggunganku mulai muncul ketika berdiri diantara banyak siswi. Aku merasa lebih tampan di sekitar mereka. Ya, kalau saja aku tidak berpenampilan seperti ini. Namun apa boleh buat. Aih, andai saja aku memasuki SMP Kachinoka putra, aku pasti begitu menikmatinya!

“Nishikawa.. Nishikawa?” kepalaku mendongak.

Rupanya sensei berdiri di depanku! Hah! Sejak kapan??! Aku menoleh ke arah Kayako yang duduk di bangku sebelah kananku. Mulut Kayako berkomat-kamit seperti mengatakan sesuatu. Namun suaranya hampir tidak terdengar. “Kalau anda suka melamun, saya sarankan untuk berdiri di depan lorong saja.”

Aku menunduk malu.

“Maaf, sensei.”

“Tolong jelaskan kembali tentang amilase, lipase, tripsin, dan faeces,” mendengar pertanyaan mendadak dari sensei, membuatku agak panik. Halaman tiap halaman aku baca. Siapa tahu ada penjelasan di buku ini. Alba yag duduk di depanku langsung berbalik ke belakang.

“Halaman 203!” serunya setengah berbisik. Aku menganggukkan kepala. Lalu aku menemukan halaman yang kucari.

“Ano.. kalau amilase itu adalah..,”

“Alba, tolong jelaskan apa itu amilase, lipase, tripsin, dan faeces,” potong sensei dengan suara tegas yang mendalam. Alba tampak sedikit terkejut.

“Amilase adalah suatu cairan pancreas yang berguna untuk menghancurkan zat tepung. Kalau lipase adalah cairan pankreas yang berguna untuk menghancurkan lemak. Lalu tripsin merupakan cairan pancreas yang berguna untuk menghancurkan pepsin. Sedangkan faeces itu.. sisa makanan yang  dikeluarkan melalui anus.”

Tsugoi! Kak Alba terlihat begitu mengagumkan ketika mengatakannya dengan jelas tanpa membaca buku. Kulihat sensei manggut-manggut. Lalu matanya mengarah kembali ke arahku.

“Di pelajaran saya selanjutnya, saya tidak ingin jika ada siswi yang tidak menyimak pelajaran saya,” lalu matanya mulai melihat para siswi satu-persatu. “Jika kalian tidak tertarik dengan mata pelajaran saya, kalian boleh keluar dan melakukan kegiatan sesuka kalian. Mengerti?”

***

“Tadi kamu hebat banget, Bugyamu! Kamu mampu berdebat dengan kelompok Hajime selama 30 menit! Aku sangat yakin jika sensei akan memberikan nilai plus untuk kelompok kita,” Hidasu menepuk punggungku. Hidasu dan Tanaka terus-menerus memujiku.
Tanaka

“Aah, debat ilmu sosial kan memang sangat mudah. Kalau besok ada penilaian debat lagi, aku jamin kalau kita pasti akan menang!” seruku bangga.

Tanaka mengangkat kacamatanya dan melihatku, “Tapi entah kenapa aku merasa kalau sikap kamu hari ini berubah total ya?”

“Hah, maksudnya?” tanyaku agak kikuk.

“Hari ini kamu tampak lebih ceria, bersemangat, dan penuh percaya diri.”

“Memangnya aku yang biasanya seperti apa?”

“Bugyamu yang biasanya selalu bawel tentang karate. Tiada hari tanpa karate.”

“Lalu?”

“Lalu.. uhm,” Tanaka mencoba untuk berpikir. Giliran Hidosu yang menjawab.

“Kamu biasanya orang yang paling malas untuk berdebat maupun mengerjakan tugas sekolah. Tapi walaupun begitu kamu itu teman yang paling setia deh!”

Tanaka merangkul pundakku.

“Iya! Kamu memang sahabat kami yang paling setia. Kamu selalu membantu kami dengan ikhlas.”
Diam-diam aku merasa senang setelah mengetahui bahwa adikku dikenal sebagai teman yang baik dan juga setia.

“Tapi, ukh! Kenapa hari ini kamu tidak cerita tentang dia satupun?” tanya Hidosu sambil garuk-garuk kepala. Aku mengernyitkan dahi. ‘Siapa? Apa ‘dia’ itu maksudnya adalah cewek yang bernama Airin itu? Apa Bugyamu sering menceritakan tentang cewek itu pada kedua temannya?’

“Kamu selalu menceritakannya disela-sela makan di kantin,” kata Hidosu lagi. Aku hanya terdiam sambil memikirkan siapa orang yang dimaksud. “Kakak kamu itu benar-benar hebat!”

Deg! Aku terkejut ketika mengetahui bahwa orang yang mereka bicarakan adalah diriku sendiri.

“Betul sekali! Kamu pernah bilang kan kalau kalian itu saudara kembar. Aku masih ingat saat kamu menceritakan tentang kak Haruno dengan menggebu-gebu. Kamu selalu bilang kalau senpai adalah kakak yang baik lah, kakak yang paling enerjik daripada orang-orang lainnya, kakak yang selalu melindungi adiknya lah. Kamu selalu menjadi salah satu pengagum dirinya. Aku jadi penasaran bagaimana rupa kakakmu itu. Apakah wajah kalian sangat mirip? Kapan-kapan ajak aku bertemu dengannya dong.”

Aku hampir saja tersenyum lebar. Aku tidak pernah tahu bahwa Bugyamu selalu menceritakan tentangku sebaik itu. Aku hanya terdiam sambil menahan senyum yang tertahan.

“Duh, masa’ iya sih! Aku pernah ngomong kayak gitu. Okay, kapan-kapan deh kalian aku ajak untuk menemuinya. Mungkin dia bisa pulang setelah ulangan semester berakhir.”
Hidosu

“Idih, wajahmu kok memerah?” ku pegang kedua pipiku dengan sedikit panik. Tanaka benar-benar sangat jeli. Duh, aku masih tidak dapat menahan perasaan senang ini. Calm down, Haruno. Calm down. “Nah lho, sekarang senyam-senyum sendiri!”

“Apaan sih!” aku segera berjalan mendahului mereka berdua. Tanaka ikut mengejarku.

“Waa.. kita bakal bertemu dengan senpai? Asiik!!!” seru Hidosu kegirangan. “Hey, tunggu! Aku kok ditinggal sih!”

***

Seorang gadis berdiri mengamati tiga orang yang tengah berjalan menuju tempat parkir sepeda. Gadis itu sedang memegang sapu tangan berwarna putih. Gadis itu mulai menyunggingkan senyumnya. Lalu dia menatap sapu tangan itu lekat-lekat.


“Bugyamu-kun, aku percaya bahwa tidak butuh waktu lama untuk mendapatkan hatimu.”


~To bE cOnTiNuEd

0 komentar: